Organisasi NU
Kaderisasi dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi
perbincangan yang menarik. Menjelang muktamar ke-33, perbincangan soal kader
terkait dengan status PMII. Entahlah, masuk dalam struktur atau di luar, itu
waktu yang akan menjawab. Tunggu saja dalam muktamar di Jombang, 1-5 Agustus
mendatang.
Yang mesti dipahami bersama adalah bagaimana kaderisasi yang
dibangun dalam NU? Banyak pendapat bisa disuguhkan. Salah satu yang memberi
inspirasi dalam melakukan proses kaderisasi adalah almarhum KH Ali Maksum,
Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta, Rais Aam PBNU 1981-1984.
KH Ali Maksum Foto BerBatik BersurbanLahir di Lasem, 2 Maret 1915
Ali muda dikenal cerdas dan kutu buku, apapun buku dibaca. Gurunya, Syekh
Dimyati Tremas sama sekali tidak khawatir dengan berbagai bacaan Ali muda, tahu
bahwa sang murid sudah kuat pondasi ilmunya. Kiai Munawir AF, santri Kiai Ali
yang sekarang menjadi Mustasyar PWNU DIY, bersaksi bahwa Kiai Ali ketika
membaca tulisan Arab jauh lebih cepat dari pada tulisan Latin.
“Karena bersentuhan dengan berbagai literatur klasik dan moderat,
putra Mbah Maksum Lasem, salah satu pendiri NU, menjadi kiai moderat, toleran
dan mengayomi,” tambah KH A Malik Madany, salah satu santrinya yang kini
menjadi Katib Aam PBNU.
Dalam konteks PMII, Kiai Ali Maksum mempersilahkan santrinya
mendirikan Komisariat PMII di Pesantren Krapyak. Bukan hanya berdiskusi dan
berdebat, santrinya yang di PMII mempunyai wadah bernama Kodama (Korp Dakwah
Mahasiswa), yang selalu terjun di masyarakat memberikan pengajian. Masjid dan
musola dipenuhi santri PMII Krapyak, sehingga PMII bukan saja hadir dalam
diskusi (juga demonstrasi), tetapi kesehariannya justru hadir di masjid,
musolla, dan majlis taklim. Fakta ini sangat penting dipahami bersama di tengah
tarik ulur PMII dan NU.
Apa yang dijalankan Kiai Ali Maksum, menemukan gerak yang selaras
dengan Bung Karno, sang proklamator. Pekik suara Bung Karno sangat menggelegar:
“berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku
1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Pernyataan Bung Karno ini sangat
menyanyat hati. Berkobar dan mendebarkan. Penuh semangat dan gairah menatap
masa depan.
Kaderisasi yang Efektif
Kiai Ali dikenal mempunyai sistem dan strategi yang sangat efektif
dalam melakukan kaderisasi. Ini yang mesti dipelajari bersama, karena
kaderisasi seringkali mandek karena mungkin saja yang dilakukan salah sistem
dan strateginya. Kaderisasi sendiri itu apa menurut Kiai Ali?
A.Zuhdi Muhdlor (2013), salah satu santrinya yang menulis
biografinya menjelaskan bahwa Kiai Ali itu mewajibkan adanya kaderisasi dalam
semua hal umat Islam, termasuk NU. Bahkan, beliau mengibaratkan pentingnya
kaderisasi itu sama pentingnya dengan salat sunah rawatib yang muakkad. Jadi,
kalau orang itu hanya melakukan shalat wajib (fardhu), tidak memiliki salat
sunah, ya, salatnya banyak kekurangan, banyak bolong-bolong. Karena salat sunah
itu ‘kan yang akan menyempurnakan.
“Sama dengan tataran sosial atau organisasi. Jika orang yang tidak
memperhatikan kaderisasi, hanya dia sendiri yang ingin selalu “jadi”, itu
diibaratkan dengan orang yang tidak pernah menganggap penting salat sunah
rawatib,” tegas Zuhdi yang saat ini menjadi Wakil Ketua PWNU DI Yogyakarta.
Kaderisasi ini dibuktikan Kiai Ali ketika beliau datang ke
Krapyak, tahun 1943. Tahun 1941, Kiai Munawwir, pendiri pesantren wafat,
sehingga kondisi pesantren sempat menurun. Apa yang beliau lakukan pertama kali
di Krapyak ?
Zuhdi melanjutkan bahwa yang dilakukan Kiai Ali adalah membuat kader
kiai. Kalau tidak salah, selama mendidik kader sekitar dua atau tiga tahun,
beliau tidak menerima santri. Kalau toh ada satu atau dua orang diterima, tapi
sosialisasi dan yang lain itu belum. Jadi, beliau konsentrasi selama dua atau
tiga tahun itu untuk mengkader putra-putra Mbah Kiai Munawwir agar dia bisa
diandalkan dan memiliki ilmu yang kuat.
Kalau tidak salah, selama mendidik kader sekitar dua atau tiga
tahun, beliau tidak menerima santri.[/mks_pullquote]
Kemudian dididiklah anak-anak kecil itu. Lahirlah anak-anak itu
menjadi ulama’ yang hebat, seperti Kiai Zainal, Kiai Warson, Kiai Dalhar, dan
lainnya. Kiai-kiai ini bersama kiai lainnya kemudian menjadi ulama’ yang bukan
saja mumpuni, tetapi juga mencetak sejarah besar. Kiai Warsun, misalnya, menulis
Kamus Al-Munawwir yang sampai saat ini menjadi kamus pegangan utama dalam
kajian Islam. Kiai Zainal banyak menulis kitab-kitab fiqh.
Lalau resep apa alias sistem dan strategi apa yang digunakan Kiai
Ali?
Kiai Munawir AF, salah satu santrinya yang menulis kamus,
menjelaskan bahwa sistem kaderisasi Kiai Ali adalah sorogan. Sorogan adalah
sistem belajar dengan “nyorog”, maju secara individu kehadapan Ustadz/Kiai.
Kiai Ali menyelenggarakan “sorogan” ini sesuai dengan kapasitas santrinya.
Karena sorogan ini juga, Kiai Ali hafal nama semua santrinya. Ribuan saat itu
santrinya.
Ada santri yang tingkat Tsanawi, ‘Aly, Takhassus. Umumnya
diambilkan dari santri yang betul-betul dititipkan orangtuanya kepada beliau.
Kiai Ali juga meminta guru-guru senior untuk adik-adik di bawahnya. Nyatanya
mereka yang “nyorog” kepada Kiai Ali umumnya mereka berhasil.
“Memang sorogan membawa manfaat sangat besar. Lebih dari itu,
dalam sorogan ada semangat, kesungguhan, percaya diri, dan kasih sayang.” Tegas
Kiai Munawir.
Selain sistem sorogan, lanjut Kiai Munawir, Kiai Ali juga pintar
mengolah santri menjadi santri yang berkualitas. Sebagaimana layaknya seorang
manajer, Kiai Ali pandai memanfaatkan guru yang tamat dari Madrasah Aliyah,
untuk mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sudah tentu dengan aplikasi khusus.
Kemudian menaikkan guru-guru yunior yang dipandang cakap untuk mengajar di
Tsanawiyah. Dan guru-guru yang mengajar di Tsanawiyah di tingkatkan lagi ke
Madrasah Aliyah. Jadi, guru-guru dengan secara otomatis dapat meningkatkan
jenjangnya manakala ia mau mengkualitaskan dirinya.
“Tinggal Kiai Ali memolesnya dengan sorogan-sorogan khusus guru,
dan atau dengan pengajian-pengajian khusus guru, dengan kitab-kitab kuning yang
belum pernah dikaji di Tsanawiyah atau Aliyah. Yang lebih cerdas lagi, Kiai Ali
menugaskan guru-guru senior untuk menjawab masalah-masalah yang diperolehnya
dari pengajian di kampung-kampung atau luar daerah yang nantinya beliau tinggal
menambah hujjah-hujjah yang diperlukan. Kadang malah beliau mengarah : ‘cari di
Muhadzdzab cung…! Cari di Mughni cung…! cari di Majmu’ cung…! dan hal ini
sekaligus meningkatkan kualitas setara kiai kampung.” Lanjut Kiai Munawir yang
sampai saat ini masih rajin menulis.
Sementara Kiai Afif Muhammad (2012), cucu Kiai Ali menjelaskan
bahwa Simbah Kiai Ali banyak turun ke bawah sehingga ketika ada santri yang
bolos tidak sorogan, beliau tahu dan kemudian memanggilnya. Santri yang tidak
ngaji sorogan tersebut kemudian diberi sanksi, misalnya ikut kerja bakti,
memijat, dan membersihkan lingkungan sekitar pondok.
“Dari sinilah Mbah Ali mengakrabi santri. Karena itu, aura pribadi
Mbah Ali kemudian banyak yang turun kepada para santrinya.” Tegas Gus Afif,
panggilan akrabnya.
“Saya saja yang saat itu masih kecil, merasa bahwa ada tanggung
jawab bahwa saya pernah ngaji ke Mbah. Tentu tanggung jawab saya jangan
memalukan guru, karena gurunya bukan orang sembarangan. Di sisi lain, santri
akan cenderung untuk berbuat hal-hal yang sembodo (berkualitas) karena merasa
menjadi santri Mbah Ali. Mbah Ali tidak menentukan kitab apa yang menjadi
sorogan setiap santri. Mereka bebas memilih sendiri, kecuali kalau terlalu
tinggi, Mbah Ali akan memberi referensi. Hal seperti ini juga mendidik agar
santri berpikir kitab apa yang sesuai dengan kemampuan dirinya. Ini yang
sekarang tidak terpikirkan,” lanjut Gus Afif.
Strategi inilah yang digunakan Kiai Ali untuk mendidik KH Mustofa
Bisri, almarhum KH Kholil Bisri, KH Said Aqil Siraj, KH Malik Madany, KH Aziz
Masyhuri Denanyar, almarhum KH Masduqi Mahfudz, termasuk juga KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur).
Dalam kesaksian Kiai Said Aqil Siraj, Kiai Ali mempunyai
perpustakaan yang dibuka 24 jam buat santrinya. Dalam pintu masuk tertulis:
“oleh diwoco, haram digowo” (boleh dibaca, haram dibawa). Perpustakaan yang
berisi berbagai kitab klasik dan modern ini dibaca dengan lahap para santrinya.
Disinilah ada kenikmatan ilmu pengetahuan yang disuguhkan Kiai Ali kepada
santrinya.
Kiai Ali juga tidak kerso (bersedia) untuk dipilih lagi menjadi
Rais Aam pada Muktamar di Situbondo, 1984. Buat apa? Tentu saja karena
ketawadluannya, juga karena prinsip Kiai Ali dalam melakukan kaderisasi. Kiai
Ali menginginkan kader muda diberi “tempat” untuk memajukan NU. Lahirlah
kemudian KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam dan Gus Dur sebagai Ketua Umum.
Strategi inilah yang digunakan Kiai Ali untuk mendidik KH Mustofa
Bisri, almarhum KH Kholil Bisri, KH Said Aqil Siraj, KH Malik Madany, KH Aziz
Masyhuri Denanyar, almarhum KH Masduqi Mahfudz, termasuk juga KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur). [/mks_pullquote]
Catatan untuk Muktamar ke-33
Apa yang sudah dilakukan Kiai Ali menjadi “PR” bagi NU dan
pesantren dalam melakukan kaderisasi. Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus
nanti menjadi refleksi serius masyarakat pesantren dan warga NU untuk melakukan
kaderisasi. Jangan sampai Muktamar menjadi “pertarungan” antar kiai, karena
yang mesti dilakukan NU adalah menciptakan kader yang siap untuk membangun
peradaban Indonesia dan dunia berdasarkan nilai-nilai ke-NU-an yang sudah
dibangun para ulama’ Nusantara.
Muktamar adalah momentum sangat strategis untuk kembali
menggaungkan semangat kaderisasi, karena saat ini NU mempunyai kader yang
beragam (lintas batas). Kaderisasi harus dibangun untuk mengoptimalkan dan
memaksimalkan kader yang ada hari ini dalam menjawab berbagai problem global.
Juga memikirkan kader-kader ulama’ yang siap meneruskan perjuangan para ulama.
“NU lahir untuk memberi manfaat, bukan dimanfaatkan untuk
kepentingan pribadi,” tegas KH Asyhari Abta, santri Kiai Ali yang sekarang
menjadi Rais Syuriah PWNU DI Yogyakarta.
Klik Artikel lainnya:
Klik Artikel lainnya:
Sumber: rmi-jateng.org
Oleh: Muhammadun
Comments
Post a Comment